Juri Nasional FFL 2020 Sharing Dunia Perfilman dalam Coaching Clinic




BANDARLAMPUNG – Juri Festival Film Lampung (FFL) 2020 membagi kisahnya terjun dalam dunia perfilman nasional kepada puluhan peserta dalam coaching clinic melalui zoom meeting Kamis, (3/7/20).

Coaching clinic merupakan rangkaian dari FFL 2020 yang digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Darmajaya Computer & Film Club (DCFC). Ketiga juri nasional tersebut Greg Arya selaku editor (penyunting gambar), Padri Nadeak selaku Director of Photography (DOP), dan Ario Rubbik selaku Sutradara.

Greg mengawali ceritanya bahwa awal kuliah tidak menyangka dapat menjadi seorang editor saat ini. “Editor ini seperti sesuatu yang ditemukan. Profesi ini seperti ketemu saja karena utak-atik komputer. Sehingga cinta pada dunia perfilman. Ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang editor ini seperti saya bisa mencari berbagai cara alternatif cerita,” ungkapnya.

Menurutnya, seorang editor menyelesaikan masalah dari proses bercerita. “Tantangannya menemukan masalah baru serta hal-hal baru,” ujarnya.

Untuk mengedit suatu film, lanjut dia, harus memahami skenario dan ceritanya. “Seorang editor itu bukan memotong, mengedit, dan menempel gambar. Kita harus benar-benar selesai diawal. Kalau teman-teman ingin berada di wilayah editing teman-teman harus paham proses menulis karena pada saat editing kalian harus menulis ulang ceritanya. Paham konflik. Pahami naskah, pahami sutradaranya, pahami ceritanya, itu yang harus dipahami seorang editor,” bebernya.

Sementara itu, Padri Nadeak mengatakan bahwa perjalanannya sangat panjang menjadi seorang DOP. “Panjang kalau diceritakan. Saya dari lightman, asistan kamera, kamera operator dan DOP tahun 2009. Buat jadi DOP itu harus ada rintisan keilmuan dari bidang itu. Awalnya dari kecil ingin banget dapat melukis sampai akhirnya tidak bagus dan mengambil sekolah fotografi, saya berkeinginan menjadi penulis tetapi tidak bagus. Cuma dari fotografer yang bagus. Dari gambar itu dibuat bercerita,” tuturnya.

Padri – biasa dia disapa – mengaku bahwa tantangan dari DOP dalam sebuah film yakni mentranslate tulisan ke dalam sebuah gambar. “Setiap orang itu berbeda beda mencari gambar yang tepat. Menggambarkan tulisan yang tepat itu kesulitannya,” terangnya.

Kemudian, Ario Rubbik menerangkan bahwa menjadi seorang sutradara dijalani dengan proses panjang yang telah dilalui. “Saya masuk (dunia perfilman) itu tahun 1999 dari pembantu umum. Saya belajar cukup panjang pertama kali jadi sutradara tahun 2010. Tahun 2010 film yang pertama kali digarap layar lebar,” ungkapnya.

Ario mengaku seorang sutradara harus menyamakan visi misi dalam tim yang dipimpinnya. “Paling menyatukan visi dan misi seluruh elemen tim. Sebagai Director pasti sudah memilih orang-orang terbaik untuk membantunya.

Masing-masing Director pasti memiliki caranya masing-masing. Kalau saya memiliki cara pendekatan personal dalam tim. Saya selalu menerapkan seperti itu. Saya senang mengobrol dengan siapa pun dalam tim bahkan dengan pembantu umum,” tuturnya.

Chemistry itu, kata dia, ke semua bukan antar pemain saja. “Ngobrol dari hati ke hati dan kita sampaikan mengenai film yang digarap. Dan Saya berusaha jadi pendengar yang baik. Melakukan pendekatan ke personal tim dan ke semua elemen itu saya lakukan bahkan ke driver pun,” ujarnya.

Terpisah, Kepala Biro Kemahasiswaan IIB Darmajaya, Dedi Putra, S.E., M.S.Ak., mengatakan coaching clinic ini merupakan tahapan FFL 2020. “Kami berharap teman-teman sineas muda dapat tereksplor dalam materinya,” ungkap dia dalam pembukaan coaching clinic.

Dedi juga menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan semua pihak dalam terselenggaranya tahapan FFL 2020. “Kami sangat berterima kasih atas supporting kepada sponsor yang telah membantu UKM DCFC untuk penyelenggaraan acara ini sampai saat ini,” tutupnya.